https://caspo777.onl/register |
Seramnya! Lampu neon berbentuk pesawat UFO tersebut bersinar lemah hingga menghasilkan bayangan mengerikan di sepanjang gang. Warna sinarnya yang kuning pucat menciptakan suasana temaram khas film horor.
Aku melewati gang dengan hati resah. Terakhir kali aku melalui gang tersebut, sesosok bayangan hitam yang tinggi besar mengikutiku dengan langkah lebar. Padahal saat itu baru pukul 18.30 dan masih banyak pejalan kaki yang lalu lalang. Sedangkan saat ini menjelang pukul 21.00. Aku dan Mama pulang kemalaman akibat menjual porselen antik.
Malam ini jauh lebih pekat dan hening. Tak satu pun pejalan kaki yang tampak. Angin berdesir di sela dedaunan pohon mangga seperti suara desahan. Bayangan ranting yang menari-nari bagaikan tangan mistis yang siap menyambar kami.
Dalam hati aku berdoa. Ya Allah, jangan sampai hantu kembali membuntutiku. Gang kecil ini memiliki roh penunggu yang cukup jail. Kasihan jantungku jika harus berpacu terlampau keras.
Mama berjalan begitu cepat di hadapanku hingga aku harus setengah berlari untuk berada tepat di belakang tubuhnya. Kami melintasi gang yang hanya cukup dilalui satu orang dengan bergegas. Samar-samar tercium aroma kemenyan yang membangkitkan rasa ngeri.
KRIET! Terdengar bunyi patahan batang pohon. Aku tak berani menoleh pada kebun pisang di sisi kanan tepat di luar mulut gang. Bukankah Mr Poci alias Pocong sering menghuni kebun pisang? Belum lagi Miss Kunti yang senang duduk manis di atas pohon pisang. Please, kalian ngedate saja di malam Jumat ini. Jangan hiraukan kami!
Kami melintasi beberapa rumah dan menarik napas lega ketika tiba di pos sekuriti dalam area lembaga penelitian tanaman. Malam ini sungguh seperti acara uji nyali.
Ketiga sekuriti mengangguk ramah ketika kami menyapa mereka. Jika kami belok kiri dari pos tersebut, maka kami sudah berada di luar area lembaga penelitian, yaitu tepi jalan kecil. Di sebrang jalan tampak pagar yang membatasi suatu universitas.
Jalan yang kecil membuat aku harus membuntuti Mama. Tanpa kusadari sebelumnya, di depan Mama tiba-tiba ada gadis cantik yang menjadi pemimpin barisan kami.
Gadis tersebut berpenampilan ala mahasiswi. Ia menggunakan sweater oranye pastel dan celana panjang denim abu-abu muda. Ia juga menggunakan masker hitam yang tak bisa menyembunyikan sepenuhnya wajahnya yang cantik dan berbentuk hati. Kulitnya putih dan cukup pucat. Rambutnya panjang dan berwarna hitam kecokelatan. Walaupun aku berada di urutan terbelakang dalam barisan, tapi aku bisa mencium parfum bunganya yang begitu membelai indera penciumanku.
Mahasiswi tersebut berjalan kaki dengan begitu santai karena asyik menelepon. Kami tak bisa melewatinya karena cara berjalan mahasiswi tersebut agak mengayun ke kiri dan ke kanan. Selama perjalanan terdengar suara gumamannya yang begitu halus. Aku sama sekali tak bisa menangkap sepatah kata pun yang ia ucapkan. Ia terus saja berceloteh tanpa menyadari bahwa ia memperlambat perjalanan kami.
Silau! Aku mengedip-ngedipkan kedua mataku karena sinar lampu mobil yang menyoroti wajah kami bertiga. Sungguh tak sopan! Pengemudi Avanza hitam yang datang dari arah berlawanan tersebut terus mengarahkan lampu mobil ke arah kami selama beberapa menit. Avanza hitam yang bergerak perlahan tersebut itu pun akhirnya berlalu hingga aku pun bisa kembali memfokuskan pandangan ke depan.
Kedua mataku tertuju pada punggung si mahasiswi yang berada di depanku dan Mama. Entah mengapa menatap punggungnya membuat hatiku berdesir aneh. Untungnya, kostan sudah berada di hadapan kami.
“Ma, kita sudah sampai!” Ujarku mengingatkan Mama yang tampak merenung.
Mama pun langsung membuka selot bawah pintu pagar kostan. Ketika Mama melakukan hal tersebut, si mahasiswi yang sedang berjalan di depan kami, tiba-tiba berhenti dan menoleh dengan gerakan sangat kaku.
HIIIY! Leher mahasiswi tersebut berputar kaku 180 derajat. Sembari menelepon, ia mulai mengeluarkan suara seperti dengung.
NGUNG…NGUNG!
Suara dengung tersebut terdengar lirih seperti suara tangisan. Dan mata mahasiswi tersebut menatap aku dan Mama dengan nanar. Matanya menyorot tajam dan berbinar aneh. Pupil mata tampak seperti kristal abu-abu.
“AAAAAA!” Jeritku ketika menyadari mahasiswi tersebut ialah hantu.
Baik Mama maupun diriku langsung lari beŕhamburan melalui pintu pagar kostan yang sempit. Mama pun membanting pintu pagar kostan tanpa menyelotnya kembali.
Walaupun sangat takut, aku yang sedang berlari menuju pintu masuk kostan, tetap penasaran dan menoleh ke belakang. Ternyata, hantu tersebut tetap terpaku di depan pintu pagar kostan. Ia terus menatap kami dengan intens sembari mendengung. Matanya begitu nanar. Pose lehernya yang menengok kaku ke arah kami tampak begitu mengerikan seolah-olah menyatakan bahwa ia sekarang mengetahui tempat tinggal kami.
Suara dengungan bertambah kencang diiringi isak tangis. SERAAAAM! Aku dan Mama berlari sangat kencang hingga jantung terasa melompat keluar dari dada kami.
Di dalam kamar tidur, aku dan Mama saling berpandangan. Kemudian, kami tertawa berderai mengingat kelakuan kami yang lari tunggang langgang sepanjang lorong kostan. Hampir saja Mama terjatuh karena ia berlari terlampau cepat. Malam ini sungguh memacu adrenalin.
HUHUHU. Ternyata hantunya tidak menampakkan diri di belakangku, tapi di depanku. Salahku sendiri. Mengapa aku hanya mengucapkan doa yang memohon hantunya tidak muncul di belakangku? Hantunya pintar dan usil…
Malam itu aku dan Mama tidur cepat di kostan. Kami berharap si hantu dengung tidak mengikuti kami masuk ke dalam kostan. Tapi, harapan tinggal harapan. Sejak saat itu, kostan terasa begitu mencekam.
***
“Bude, kami order tempe mendoan 4 buah dan nasi dada ayam 2 porsi. Tolong makanannya dibungkus saja,” pinta Mama yang sedang berdiri di ambang pintu ruangan yang dihuni Bude, pengurus kostan.
Sayup-sayup terdengar lagu gending Jawa yang merdu. Aku langsung teringat film Kuntilanak yang dibintangi Julie Estelle. Bude yang asli orang Yogyakarta sangat menyukai lagu gending. Untungnya, ini masih pagi. Tidak terbayang jika mendengarkan alunan lagu yang lirih ini saat tengah malam di kostan yang penerangannya sangat minim ini!
Sembari menunggu pesanan makanan, aku hendak duduk di kursi jati yang berada di ruang tamu. Aku terpaksa mengurungkan niatku untuk duduk karena tampak sebuah tangan perempuan yang berada di atas pegangan kursi jati. Walaupun tangan tersebut terlihat cantik dan halus, tetap saja aku merasa ngeri menatapnya. Dalam 5 detik, tangan tersebut menghilang. Duh, jangan-jangan itu tangan si Hantu Dengung! Berarti ia mengikuti kami ke dalam kostan.
“Ma, aku melihat tangan hantu. Sepertinya itu tangan Hantu Dengung yang kita lihat kemarin,” bisikku pada Mama.
“Jangan kau permasalahkan. Hanya seminggu lagi kita menghuni kostan ini.”
“Bagaimana jika dalam rentang satu minggu Hantu Dengung tersebut mengganggu kita? Atau, masuk ke dalam kamar dan tidur bersama kita?” Tanyaku panik.
“Yang terpenting kita banyak berdoa agar terhindar dari roh penasaran seperti itu. Sudahlah, kita jangan berdiskusi tentang hantu lagi. Nanti hantunya malah kembali menampakkan diri.”
***
“Uuuuuu…”
Aku yang sedang asyik membaca ‘Then There were None’ karya Agatha Christie, merasa terganggu oleh suara ganjil tersebut. Mungkin suara burung hantu?
Aku melirik layar handphone. Ah, sudah jam 23.00. Pantas saja kostan terasa sangat hening.
“Uuuuuu…”
Suara apa, sih? Aku celingukan mencari sumber suara. Seolah menjawab rasa penasaranku, suara ganjil itu kembali terdengar. Tapi lebih keras dan melolong hingga rasa ngeri terbersit dalam hatiku.
“UUUUH! UUUUUUUH….”
Aku terkesiap. Ternyata Mama yang merintih-rintih walaupun ia sedang tidur lelap.
Mama tidak bereaksi. Ia tetap saja merintih hingga aku pun mencubit lengannya. Akhirnya, Mama pun bangun dengan wajah pucat pasi.
“Mama bermimpi seram sekali. Ada perempuan berambut panjang yang mencengkeram lengan Mama. Walaupun Mama sudah mendorongnya sekuat tenaga, perempuan itu tetap saja memiting Mama. Untungnya, kau sigap membangunkan Mama,” kata Mama dengan suara bergetar.”
“Apakah perempuan di mimpi Mama ialah hantu dengung?”
Mama mengangguk. Kemudian, ia meneguk teh manis panas untuk menenangkan diri.
Ah, hantu penasaran tersebut sekarang menjadi penghuni baru kostan ini. Sejak saat itu gangguan mistis semakin menjadi.
Kejadian mistis kembali terjadi pada pukul 9 malam. Ketika aku membuka pintu kamar mandi ke arah kebun, aku melihat kepala perempuan yang melayang di tingkat 2 kostan. Wajahnya tidak jelas terlihat. Rambutnya yang acak-acakan seperti ijuk, panjang menjuntai. Ia melihat sekilas ke arahku yang berada di lantai satu. Aku segera berderap masuk ke kamar kostan dan menutup pintu dengan keras hingga Mama yang berada dalam kamar kostan mengangkat alis dengan penuh tanda tanya.
Aku hanya menyeringai, “Tak ada apa-apa.”
“Apa yang kau lihat?”
“Kepala terbang sedang mengintip kamar di lantai dua. Tapi, mungkin aku salah lihat.”
Mama menghela napas, “Sekarang aura kostan ini terasa seram. Jauh berbeda dibandingkan saat kita datang pertama kali. Mungkinkah hantu dengung itu ada kaitannya dengan keranda yang berada di sebrang jalan? Keranda tersebut biasa disandarkan atau digantung pada dinding bangunan kecil di halaman belakang.”
“Mungkin saja. Aku pernah beberapa kali jatuh dengan ganjil seperti didorong sesuatu di area sebrang keranda.”
“Kau masih ingat tidak? Pernah kan kita melihat tukang siomay yang lenyap begitu saja di antara kerumunan staf lembaga penelitian dan sekuriti?”
“Iya, Ma. Aku ingat sekali. Dari jauh terlihat ada tukang siomay. Tapi saat kita mendekat, tukang siomaynya lenyap begitu saja. Ia menghilang tepat di area pos sekuriti. Tapi, keranda kan letaknya tidak di sebrang pos sekuriti?”
“Kau menyadarinya, tidak? Keranda itu letaknya berpindah-pindah. Hantu dengung itu juga tiba-tiba tampak di area sekitar tukang siomay menghilang. Dan saat itu di sebrang jalan terdapat keranda itu.”
Aku terperangah mendengar analisis Mama.
“Bude, terima kasih banyak atas segala bantuan Bude selama kami tinggal di kostan ini. Kami mohon pamit,” ujar Mama.
Bude mengangguk. Senyumnya yang misterius, membuat bulu kudukku merinding. Penampilan Bude mirip dengan tokoh penunggu rumah hantu yang pandai menyimpan rahasia di film horor.
Akhirnya, malam ini aku tidur kembali di rumah. Baru saja aku hendak terlelap, ada sesuatu yang mencengkeram kakiku. Maka, aku pun menoleh. Tampak sekilas tangan Mama mencengkeram kakiku. Ganjilnya, Mama sedang tertidur lelap. Aku pun terpaksa membangunkannya.
“Ma, mengapa mencengkeram pergelangan kaki kiriku?”
“Mama tidak mencengkeram pergelangan kakimu. Lihatlah! Tangan kanan Mama sedang memegang tasbeh. Sedangkan tangan kiri Mama ada di bantal.”
Jadi, tangan siapa itu?
Kemudian, aku tertidur dan bermimpi berada di kostan bersama Kunti. Dalam mimpiku, biji-biji saga merah berhamburan dan melompat-lompat di lantai kostan. Kucing hitam bermata merah dari dalam kamar kostan, hampir menabrak kakiku. Dan kemudian, ia menghilang di kegelapan malam.
Wajah Kunti yang seputih kertas sangat kontras dengan kedua matanya yang merah. Ia tak berbicara, tapi aku bisa mengerti apa yang hendak ia utarakan.
“Kembalilah ke kostan ini. Mari kita tinggal bersama. Aku, kau, dan Mama-mu…”
Tiba-tiba di sampingku ada anak kecil berkepala gundul yang menyeringai. Mulutnya penuh gigi taring kecil yang berlumuran darah.
Dalam mimpi aku menjerit. Aku tak mau tinggal di kostan seram itu. Tiba-tiba aku terbangun tepat tengah malam. Kostan itu seperti memanggil-manggil diriku…
Apakah hantu dengung yang cantik jelita itu sebenarnya Kunti? Bagaimana menurut kalian?