https://caspo777.onl/register |
Berkunjung ke sebuah daerah memang harus ekstra hati-hati dengan etika dan perilaku kita ya, Guys. Bertindak nggak sopan bisa langsung 'ditegur' sang penunggu, loh! Contohnya seperti dua pemuda Angga dan Bayu yang terjebak di sebuah kampung berpenghuni makhluk gaib.
Pengalaman mereka diceritakan kembali oleh akun Twitter @SiskaNoviW. Berawal dari keinginan Angga dan Bayu untuk mendaki salah satu gunung, mereka berdua pun menginap di rumah pakdenya Bayu di dekat gunung tersebut.
Meminjam motor milik pakde, Angga dan Bayu berangkat jam 8 pagi menuju kawasan gunung. Dalam perjalanan mendaki, Bayu yang mulai agak tertinggal karena kelelahan melihat Angga menenggak minuman keras dari botol kaca.
"Angga, tenan loh yo! Kon lek sampek mendem trus karepe dewe nok panggon e uwong. Aku wegah nanggung resiko loh," Dengan bahasa Jawa Bayu memperingatkan sahabatnya.
(Angga, beneran loh ya! Kamu kalau sampai mabuk lalu seenaknya sendiri di tempat orang, aku nggak mau menanggung resikonya loh)
Angga hanya tersenyum lebar. Saat mereka mencapai puncak gunung, firasat Bayu pun menjadi kenyataan. Angga yang mabuk muntah berkali-kali. Meski begitu dia masih tertawa-tawa. Bayu yang cemas dan khawatir pun memaksa Angga pulang menjelang subuh.
Dari puncak gunung hingga pelataran parkir motor, Angga diam saja. Begitu juga saat motor beranjak meninggalkan kawasan gunung. Bayu merasa aneh dengan tingkah Angga yang biasanya cerewet dan banyak tingkah. Tapi belum sempat bertanya ke Angga, Bayu tiba-tiba mengerem laju motor. Yang ada di hadapannya sungguh tak dapat dipercaya.
Seekor ular dengan ukuran sangat besar melintas di tengah jalan. Bayu kaget, namun dia hanya bisa menunggu sampai si ular selesai menyebrang jalan. Kini kekhawatirannya bertambah. Tak hanya mencemaskan Angga yang terdiam menatap jalan dan ular besar di hadapannya, Bayu juga takut ada hewan liar lain di sekitarnya.
10 menit berlalu, namun si ular belum juga kelihatan ujungnya. Kabut yang semakin tebal membuat jarak pandang terbatas. Karena tak saling bicara sejak dari puncak gunung, Bayu tak melihat bahwa sahabatnya tak lagi duduk di atas motor. Bayu panik luar biasa menyadari Angga menghilang.
Dia mengambil ponsel dan kekagetannya bertambah saat melihat jam baru menunjukkan pukul 00.01 dinihari. Padahal Bayu yakin dia dan Angga meninggalkan puncak gunung pada jam 03.15.
Namun soal jam hanya masalah kecil. Mungkin ponselnya error, pikir Bayu. Menemukan Angga di situasi gelap mencekam jelas lebih penting. Bagusnya, ular di tengah jalan sudah menghilang. Bayu bergegas menyalakan motor untuk mencari Angga. Namun mesin motornya tak kunjung menyala.
Di tengah kepanikan Bayu melihat tiga sosok nenek yang memanggul keranjang di punggung. Keranjang itu diikat kain yang terlilit di dada mereka. Mereka berhenti di depan Bayu yang sekarang panik dan takut. Namun mereka menenangkan Bayu dan memperkenalkan diri sebagai Mbah Ira, Mbah Sukma, dan Mbah Dwipo, warga Kampung Wurung.
"Sakdurunge tekone srengenge, awakmu kudu metu soko alas iki," ujar salah satu dari Lek sampek durung metu sampek srengenge teko. Awakmu bakalan nok kene sampek selawase," Ucap mbah dwipo
(Sebelum datangnya matahari, kamu harus keluar dari hutan ini. Kalau sampai belum keluar sampai matahari datang, kamu akan di sini selamanya)
Singkat cerita, Mbah Dwipo bersedia mengantar Bayu mencari Angga. Syaratnya, Bayu hanya boleh memegang bahu Mbah Dwipo dan dilarang menoleh ke kanan dan ke kiri. Bayu menurut. Selama perjalanan dia mendengar banyak suara, mulai dari suara gamelan hingga suara sekumpulan orang. Namun tak sedikitpun kepalanya yang menunduk bergerak ke arah suara itu. Sampai langkah Mba Dwipo berhenti dan dia berkata,
"Koncomu saiki kenek gudo Nyai Galuh. Kui penungguk nok alas iki gawe menungso seng gowo sifat lan tutur elek nang kene," kata Mbah Dwipo dengan tampang prihatin. "Bengok en koncomu. Lek sampek peng telu koncomu ora noleh, dekne kudu ditinggal,"
Tanpa pikir panjang Bayu meneriakkan nama Angga yang sedang menari bersama seorang wanita. Seekor ular melilit di bahu sahabatnya itu. Dua kali meneriakkan nama Angga, Bayu mulai kecil hati Angga tak kunjung menoleh ke arahnya.
Bayu memalingkan pandangan ke Mbah Dwipo yang kemudian menganggukkan kepala. Menyuruhnya mencoba untuk yang terakhir kali. Bayu pun menarik napas panjang sambil berdoa dalam hati.
"Anggaaaaaaaaa, iki aku bayu. Sadar. Aku nok kene, Nggaaa!" Bayu berteriak.
Angga berhenti menari dan menoleh ke arah Bayu. Wanita yang menari bersama Angga juga ikut menoleh. Wajahnya bersisik seperti ular dengan lidah terjulur. Matanya menatap Bayu penuh amarah. Mbah Dwipo pun sontak menyambar lengan Bayu dan mereka berdua berlari menjauhi wanita itu.
"Le, wektune wes kate entek. Awakmu kudu tak tokno soko kene. Ayo, tutno mlakuku," Mbah Dwipo berkata kepada Bayu.
(Nak, waktunu sudah mau habis. Kamu harus aku keluarkan dari sini. Ayo, ikuti jalanku)
Sambil berlari mengikuti Mbah Dwipo, Bayu melihat orang-orang di sekelilingnya. Ada seorang tentara yang memanggul senapan, ada juga pria yang tubuhnya berdarah-darah, dan ada juga orang yang matanya hampir copot. Namun Bayu terus berlari di tengah kabut tebal dan hembusan angin kencang. Sampai kakinya terasa sakit dan dia terjatuh. Matanya terasa berat dan Bayu pun tak sadarkan diri.
Saat membuka mata, Bayu melihat kedua orang tua dan pakdenya. Bayu menyadari dia terbaring di tempat tidur rumah sakit. Namun yang ada di kepalanya hanya Angga.
"Sabar le, sabar. Angga selamat. Saiki sek dirawat nok kamar sebelah. Wes gausah khawatir le," Ujar Pakde.
(Sabar, sabar. Angga Selamat. Sekarang masih dirawat di kamar sebelah. Sudah, nggak usah khawatir)
Bayu pun bernapas lega dan kembali mengingat apa yang sudah dilaluinya setelah menuruni puncak gunung bersama Angga. Pakdenya menjelaskan, warga menemukan Bayu dan motornya tergeletak di pinggir jurang. Sedangkan Angga ditemukan di pinggir sungai yang sangat jauh dari tempat Bayu ditemukan.
Bayu memaksakan diri bangun dari tempat tidur menemui Angga. Dia melihat temannya masih belum siuman. Dalam hati Bayu berdoa semoga kejadian yang baru saja dia alami tak akan pernah terulang lagi kepada siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar